Hasan Al-Bashri vs Washil bin Atha’

oleh pada Rabu, 23 Oktober 2013
Hasan Al-Bashri vs Washil bin Atha’ BandungHasan Al-Bashri vs Washil bin Atha’. Meskipun dulunya Imam Hasan Al-Bashri adalah seorang lelaki yang suka hidup nerfoya-foya, setelah insaf ia berubah menjadi ulama yang rendah hati. Ilmunya tinggi, sifatnya sederhana, dan sikapnya bijaksana. Itulah sebabnya ia dipatuhi murid-muridnya.



Dalam memandang semua peristiwa di sekelilingnya yang menjadi tolok ukur adalah Al-Qur’an dan sunah Nabi. Ia tidak mau menggunakan logika dan rasio melebihi wewenang mutlak firman Tuhan dan sabda utusan-Nya. Dalam masa hidupnya telah timbul berapa firkah dalam ilmu fikih dan ilmu kalam yang sering saling berlawanan hebat. Ia tetap damai kepada semua firkah itu walaupun tidak sejalan dengan pendiriannya. Tidak ada setu alasan pun yang membuat orang lain memusuhinya. Dan tidak ada sebuah celah pun untuk tidak menghormatinya.

Ia pernah dicegat oleh sejumlah lelaki di pasar Bashrah. Mereka dengan runcing bertanya sinis, “Wahai, Tuan Guru. Tidakkah di dalam Al-Qur’an Allah berfirman, berdoalah kepadaku, pasti kukabulkan permohonanmu? Mengapa banyak orang berdoa tetapi tidak diluluskan?”

Imam Hasan Al-Bashri secara jujur menjawab, “Manusia telahmati hatinya dari sepuluh pekara. Bagaimana mungkin doa mereka bakal diijabah?”

“Kematian macam manakah itu?” orang-orang menuntut.

“Mereka mengakui mengenal Tuhan, tetapi tidak menunaikan semua printah-Nya dan tidak menjauhi seluruh larangan-Nya. Mereka percaya kepada Al-Qur’an tetapi tidak menjalankan isinya. Mereka percaya kepada Nabi, tetapi tidak mengikuti sunahnya. Mereka memusuhi setan, tetapi hidup dalam pengaruhnya. Mereka menyatakan beriman kepada Tuhan, tetapi tidak bersyukur kepada-Nya. Mereka konon menginginkan surga, tetapi tidak berusaha mendapatkannya. Mereka takut kepada neraka, tetapi melemparkan dirinya kedalam jalan neraka. Mereka mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi tidakmelihat aib sendiri. Mereka tahu kematian bakal tiba, tetapi tidak bersiap menghadapinya. Mereka menguburkan jenazah, tetapi tidak bercermin kepada yang mati.

Tatkala orang-orang itu terdiam mendengar jawaban yang telak itu, Imam Hasan AL Bashri lantas mengingatkan, “Bukankah Nabi SAW pernah berwasiat, kutinggalkan dua penasihat, yang satu diam, yang lain berbicara. Yang diam adalah maut, yang berbicara adalah Kitab Allah. Kemudian Rasulullah juga bersabda, kuwariskan kepada kamu dua pusaka. Jika kalian berpegang kepadanya, tak kan tersesat selama-lamanya, yakni Al-Qur’an dan sunah utusan-Nya. Namun , apa yang kita saksikan di depan mata? Manusia lebih percaya kepada manusia sehingga perpecahan pun tidak terelakkan lagi,”

Ia tidak mau terlibat sampai mengafirkan golongan yang kebetulan tidak seiring sejalan. Terhadap mereka ia tetap bersedia menjalin hubungan mesra dalam kaitan persaudaraan dalam kaitan persaudaraan keislaman atau ukhuwah Islamiyah. Sebab ia menganggap, perbedaan pendapat para pemimpin islam adalah rahmat bagi kepentingan umat. Karena itu, sejumlah muridnya berani mendebat, malah menyanggah pendapatnya tanpa ragu-ragu. Sanggahan tersebut tidak dinilainya sebagai pembangkangan, melainkan keberanian untuk mengemukakan kebenaran, asalkan didasari hujah dan dalil yang bisa dipetanggungjawabkan. Padahal, sering pendapat para muridnya itu ternag-terangan menentang keyakinannya selaku aliran Sunni yang dipelopori oleh Imam Al-As’ari. Pada suatu hari Wahil bin Atha’, salah seornag muridnya yang paling pandai dan patuh, berada bersamanya dalam suatu majelis majelis ilmu. Tiba-tiba datanglah seseorang menghadap Imam Hasan Al-Bashri dan berkata, “Wahai pemimpin agamaku. Di zaman kita sekarang ini terdapat golongan yang mengafirkan golongan umat islam yang melakukan dosa besar. Mereka menganggap orang yang berdosa besar itu tidak sebagai ashi, ahli maksiat, atau fasik, pendurhaka melainkan dituduh telah murtad dari islam dan kafir. Ada pula golongan yang berbeda berpendapat, bahwa dosa besar tidak akan membahayakan ansib seseorang di akhirat kelak bila dibarengi dengan iman. Maksiat tak kan menjerumuskannya kedalam siksa jika masih disertai keimanan. Sebagaimana kebajikan tidak ada manfaatnya manakala dibarengi kekufuran. Bagaimana menurut pendapat Tuan Guru?”

Imam Hasan AL-Bashri tercenung beberapa saat. Ia berpikir dahulu sebelum berani memberikan jawaban. Sebab pendapat yan dikeluarkan dengan serampangan akibatnya bakal menyesatkan. Padahal, bagi kaum awam, acapkali pendapat guru dianggap pedoman mutlak yang tidak boleh diingkari, nyaris sama kedudukannya dengan ayat atau dalil yang pasti dari AL-Qur’an atau hadits Nabi.

Namun, apa yang terjadi?

Belum lagi Imam Hasan Al-Bashri berkesempatan memberikan penjelasan, Washil bin Atha’, sang murid cerdas menyelutuk lebih dulu.

“Menurut pendapatku, seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorangmukmin yang mutlak, bukan pula seorang kafir yan mutlak. Ia akan ditempatkan di suatu tempat di antara dua tempat (surga dan neraka). Tempat itu sesuai dengan kedudukannya yang bukan mukmin dan bukan kafir.”

Lalu Washil bin Atha’ segera bangun dari duduknya. Ia memisahkan diri dari majelis ilmu yang dipimpin gurunya itu, dan berdiri di dekat sebuah tiang masjid. Dengan nada lebih nyaring dan keyakinan lebih keras ia mengulangi pendapatnya tadi di hadapan gurunya dan segenap muridnya.

Menanggapi kejadian itu, Imam Hasan Al Bashri berkata pelan, “I’ tazala anna Washil. Washil telah memisahkan dirinya dari kita.”

Dari ucapan I’tazala itulah sejak saat itu dikenal firkah satu lagi yang disebut kaum Mu’tazilah, artinya kelompok yng memisakhkan diri dari mahzab Ahlusunah waljamaah.

sumber

Terkait